JAKARTA, KOMPAS.com —
Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan
diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus
kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA
mencatat, dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar
agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah
kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan
orientasi seksual (5 persen).
“Semenjak reformasi,
diskriminasi yang terjadi lebih bersifat priomordial, komunal, bukan seperti
diskriminasi ideologi yang terjadi pada masa Orde Baru,” ujar Direktur Yayasan
Denny JA, Novriantoni Kahar, Minggu (23/12/2012), dalam jumpa pers di Kantor
Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di Jakarta.
Dari banyaknya kasus
diskriminasi yang terjadi, Yayasan Denny JA mendata setidaknya ada lima kasus
diskriminasi terburuk pasca 14 tahun reformasi. Kelima kasus itu dinilai
terburuk berdasarkan jumlah korban, lama konflik, luas konflik, kerugian materi,
dan frekuensi berita. Setiap variabel diberikan nilai 1-5 kemudian dikalikan
dengan bobot masing-masing variabel. Pembobotan skor 50 diberikan pada variabel
jumlah korban, skor 40 untuk lamanya konflik, skor 30 untuk luas konflik, skor
20 untuk kerugian materi, dan skor 10 untuk frekuensi berita. Hasilnya, konflik
Ambon berada di posisi teratas, yakni dengan nilai 750, kemudian diikuti
konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998 (490), pengungsian Ahmadiyah di
Mataram (470), dan konflik Lampung Selatan (330).
“Lima konflik terburuk
ini setidaknya telah menghilangkan nyawa 10.000 warga negara Indonesia,” ucap
Novriantoni.
Konflik Maluku menjadi
konflik kekerasan dengan latar agama yang telah menelan korban terbanyak, yakni
8.000-9.000 orang meninggal dunia, dan telah menyebabkan kerugian materi 29.000
rumah terbakar, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4
bank hancur. Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4
tahun.
Sementara konflik Sampit
yang berlatar belakang etnis, yakni antara Dayak dan Madura, telah menyebabkan
469 orang meninggal dunia dan 108.000 orang mengungsi. Rentang konfliknya pun
mencapai 10 hari. Konflik kerusuhan di Jakarta yang terjadi pada 13-15 Mei 1998
juga tidak kalah hebatnya. Konflik ini menelan korban 1.217 orang meninggal
dunia, 85 orang diperkosa, dan 70.000 pengungsi. Meski hanya berlangsung tiga
hari, kerugian materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.
Konflik Ahmadiyah di
Transito Mataram telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka,
9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9 orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran,
61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar
Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat
sorotan media cukup kuat dan rentang peristiwa pascakonflik selama 8 tahun yang
tak jelas bagi nasib para pengungsi.
Konflik kekerasan yang
terjadi di Lampung Selatan telah menimbulkan korban 14 orang meninggal dunia
dan 1.700 pengungsi. “Secara keseluruhan, negara terlihat mengabaikan
konflik-konflik yang sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus
bahkan tidak ada pelaku atau otak pelaku kekerasan yang diusut,” katanya.
Sumber :
ANALISIS
KASUS
Menurut saya kasus diskriminasi tersebut bisa terjadi karena
hukum mengenai HAM di Indonesia tersendiri bukan merupakan suatu hal yang
penting. Sehingga setiap suku, atau etnis bahkan agama pun kurang mendapat
perhatian tertentu jika dikaitkan dengan hukum yang sudah diberlakukan UUD.
Dampaknya setiap individu yang memang pada dasarnya memiliki ego tersendiri
menganggap diri mereka adalah orang-orang yang paling benar. Apalagi jika
bagian dari mereka itu menjadi kaum mayoritas, sehingga kaum minoritas pada
suatu daerah akan dikucilkan oleh kaum mayoritas. Pemikiran dia lah yang paling
benar, paling hebat akan mendoktrin pikiran dari masyarakat untuk menguasai
daerah tempat dimana ia tinggal. Masing-masing ingin merasa menjadi yang
terpenting dan ingin menguasai dengan perbandingan pikiran mereka tidak sejalan
dengan masyarakat yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa di Indonesia ini
masih sering kita temui adan kita dengar tentang kasus mengenai konflik yang
merujuk pada diskriminasi hak asasi manusia. Ditambah lagi, masalah-masalah
yang sangat merugikan negara ini kurang menjadi sorotan penting dimata hukum.
Hanya tertulis pada UUD saja tidak terbentuk pada kehidupan nyatanya.
Tidak hanya hal tersebut, diskriminasi pada berita tersebut bisa
juga terjadi dikarenakan melekatnya tradisi budaya yang diyakinkan oleh
masyarakat sebelumnya (primodial). Di Indonesia ini banyak sekali budaya yang
menyebar pada setiap pulaunya. Dari setiap budaya masing-masing memiliki ciri
khas, kebiasaan dan adatnya tersendiri. Mengenai adat kebiasaan pasti akan
berbeda dari budaya satu dengan budaya yang lainnya. Bahkan jika dalam suatu
agama bisa diambil agama islam ini masing-masing setiap masyarakat yang
menganutnya memiliki budaya atau kebiasaan yang mereka bawa dari nenek
moyangnya terdahulu. Kemudian mereka migrasi ke suatu wilayah dimana tradisi
agama islam mereka berbeda, maka hal inipun akan melatar belakangi terjadinya
konflik antar agama. Tentu pasti berujung soal diskriminasi antara penduduk
asli dengan penduduk pendatang.
SOLUSI
PENDAPAT PRIBADI
Menurut saya, konflik-konflik yang terjadi akan menjadikan
Indonesia ini menjadi terpecah belah. Jika itu terjadi tentu akan menjadi
bagian yang sangat penting karena akan hilang salah satu bagian dari pancasila
yaitu ‘Persatuan Indonesia’. Kasus diskriminasi menjadi hal yang penting, jika
Indonesia ini saling bersatu pastinya dalam perkembangan untuk negara pun akan
menjadi lebih baik. Untuk menjadikan diskriminasi ini berkurang memang harus
didasari dari diri sendiri, pola pemikiran masing-masing masyarakatnya. Tidak
lepas dari tergantung diri sendiri tentu pemerintah harus membantu mendorong
dengan tidak acuh soal hal ini. Lebih menindak lanjuti kasus-kasus diskriminasi
yang terjadi. Tidak bersikap kaku dalam arti banyak sekali birokrasi dan syarat
dalam penanganannya. Seharusnya yang dilihat itu bukanlah masalah apa yang
melatarbelakangi konflik tersebut melainkan apa yang harus dilakukan untuk
menyatukan suatu pola pemikiran dari banyak masyarakat yang berbeda-beda
mengingat persatuan itu sangatlah penting. Semua ini bukan untuk mereka yang
berkonflik, namun untuk Indonesia.